rangkaian_kisah

Tuesday, June 08, 2004

Harga Sebuah Kebebasan

Tanah ini terasa begitu pahit, seperti sebuah tempat yang asing, seperti jalan yang semakin terpinggirkan dari peradaban, tapi di sinilah aku hidup dan menggantungkan nasib, aku telah banyak berhutang budi.

Jiwaku berontak, tak boleh ada pemerintahan seperti ini yang membuat kekuasaan semena-mena dalam batok kepala setiap orang, semua begitu sarat oleh beban hutang menumpuk dalam darah setiap bayi yang baru lahir membuat rakyat kecil semakin menderita terpuruk oleh kepapaan yang kian menjerat.

Batin menangis menyaksi mereka kian jauh terusir, hidup seperti iring-iringan jenazah, terus saja berpindah-pindah bingung mencari tanah yang kosong, sedang diri sangsi terus saja bertanya masih adakah harapan di luar sana?

Dosa mengingkari nurani, sedang orang-orang malang itu tak mampu berjuang sendiri, mereka membutuhkan lebih dari sekedar semangat harus ada yang berani angkat bicara, mereka membutuhkan diriku!

Kuputuskan memimpin perlawanan, menentang gejolak batin sendiri, sekalipun aku akan di cap anarkhi, sekalipun aku bisa tewas dalam perjuangan ini tapi panggilan jiwa sudah mengeras dalam diriku.

Para ibu penjual sayur menembang dengan bibir gemetar, “Cah angon, cah angon penekno blimbing kuwi, lunyu-lunyu penekno kanggo masuh dododiro…” haru air mata mereka menitik jadi serpihan semangat di dada kami.

Api memanggang bara asap mulai mengepul sedang tangan sudah kami acungkan tinggi-tinggi, hingga kemudian aku dibungkam di tengah bongkaran pasar dan lapak-lapak rubuh, mata-mata penuh angkara meringkus tangan dan kakiku dari kios-kios ambruk yang sebentar kemudian telah jadi senyap.

Ada labu dijejalkan dalam mulut teman-temanku mereka yang turut melawan, kemarahan meledak jadi robekan baju dan pecahan sepatu, batu yang beterbangan telah memecahkan kesadaran pula, tapi rupanya belumlah cukup.

Suara-suara gempita telah mengantar kami ke kota, tempat nama-nama para demonstran dihapus dari dalam ingatan, begitu juga namaku dan masih banyak nama-nama lain yang sebelumnya aku kenal, aku telah berubah jadi angka, cuma angka!

Sekalipun tangan, kaki dan leher terikat, mulutku masih sempat teriakkan kemarahan, ”Bangsatttt! ini zaman bukan milik kalian sendiri…kalian tak lebih dari bajingan!.... arogansi kalian cuma berani semena-mena menginjak kepala kami!.... kami bukan babi yang bisa kalian gorok tanpa melawan!”

Tapi kemudian aku dipaksa diam oleh tonjokan demi tonjokan di wajah, aku berdarah-darah seperti anjing, namun aku berasa bebas, bebas seperti angin yang lama terpendam dalam perut yang busuk.

2003


Selingkuh

“Ini adalah soal moral!” kataku sengit.
“Bukan, ini cuma masalah kebutuhan,” jawab adikku enteng.
“Mana bisa? kau tak boleh mempertaruhkan perkawinanmu dengan cara demikian!” kataku masih dengan nada keras.
“He…he…he, tenang saja Mas, selama Mas nggak ngomong apa-apa sama Ratri semuanya pasti beres,” adikku menjawab masih dengan nada santai.
Tapi aku tak bisa membiarkan masalah memusingkan ini berlalu dengan cara demikian gampang. Aku tak bisa berdiam diri saja melihat adikku Andy melakukan penyelewengan sementara istri dan anaknya yang tinggal jauh di Semarang mengharapkan kehadirannya setengah mati. Sekali pun adikku punya alasan tersendiri soal masalah ini, namun hingga saat ini aku belum bisa menerimanya. Bagaimana pun aku memahami kesulitannya harus berpisah dengan anak istri untuk sekian waktu lamanya tapi itu bukan alasan yang bisa menjadi pembenaran atas tindakannya itu.
Sudah lebih dari satu setengah tahun ini adikku terpaksa harus bekerja di Jakarta, ya memang sudah sekian lama pula ia pontang-panting mencari pekerjaan yang sesuai dengan bidangnya. Ia memang ahli dibidang komputer, mengotak-atik program dan merancang grafis, tapi rupanya keahliannya itu tak cukup memberi jaminan baginya untuk segera memperoleh pekerjaan dan ia telah berusaha keras melamar kesana kemari di daerah sekitar Semarang, Solo dan Yogya namun tak satu pun perusahaan maupun instansi yang mau mempekerjakannya, sementara itu ia harus menanggung hidup istri dan anaknya yang baru berumur tiga bulan.
Untungnya selama ini istrinya yang lulusan akademi perawat dua tahun lalu telah memperoleh kesempatan dapat bekerja sebagai tenaga honorer di sebuah rumah sakit swasta sebelum akhirnya diangkat resmi jadi pegawai negri beberapa bulan yang lalu. Jadi praktis Dik Narti iparku itulah yang menyangga kehidupan keluarga adikku selama ia masih menganggur, dan rupanya keadaaan itu lama kelamaan merongrong wibawa dan eksistensi adikku sebagai seorang suami sekaligus posisinya sebagai seorang kepala keluarga. Untunglah akhirnya aku berhasil memperoleh informasi lowongan kerja buat dirinya di sebuah percetakan, tapi mau tak mau ia harus hijrah ke Jakarta.
Sekali lagi adikku dihadapkan pada sebuah keputusan sulit, tetap menganggur di Semarang atau bekerja tapi di Jakarta. Dalam kondisi demikian tentu saja ia tak bisa memboyong istrinya seketika ke Jakarta, akhirnya melalui serangkaian pertimbangan alot adikku memutuskan untuk mencoba kerja dulu di Jakarta barang setahun dua tahun sekalian untuk mencari pengalaman, dan siapa tahu pula nanti akan muncul juga kesempatan untuk bisa kerja di daerah.
Sementara itu dari hasil kerja di Jakarta bisa dipakai pula sebagai batu loncatan untuk membenahi hidup keluarganya. Ia yakin dengan kerja keras dan upaya pantang menyerah nantinya ia akan cukup memiliki tabungan untuk memulai usaha kecil di Semarang yang dapat ia pakai menunjang hidup keluarga bila toh ternyata tak ada juga pekerjaan di daerah yang dapat mempergunakan keahliannya. Jadi begitulah adikku dengan setengah hati terpaksa menerima tawaran kerja sebagai tukang desain di sebuah percetakan di Jakarta, tentu saja hal itu tak terlepas dari peranku dimana kebetulan pemilik usaha itu adalah salah seorang teman dekatku semasa kuliah dulu di Yogya.
Setelah berlalunya waktu aku pikir adikku akan cukup mampu mengatasi kesulitannya sendiri, dan tampaknya memanglah demikian, terlihat ia mulai dapat menikmati pekerjaannya, bahkan sering kujumpai ia pulang malam setiap kali sampai jam 11 atau 12 malam baru tiba di rumah. Semula aku selalu mengingatkannya agar tak usah terlalu ngoyo mengejar materi tapi ia selalu menjawab dengan santai, “Yah daripada bengong di rumah Mas, lebih baik lembur…lumayan ada uang tambahan.”
Dan aku pun jadi terbiasa dengan situasi itu. Ia selalu membawa kunci rumah sendiri sehingga bila terlambat pulang ia tak perlu repot membangunkan aku atau istriku. Tidur anak-anakku pun tak perlu terganggu, tapi rupanya kebiasaan pulang malam itu bukan semata-mata karena lembur saja, sebagai seorang laki-laki normal dengan segala macam permasalahannya jauh dari anak istri, wajarlah kalau ia mencari sedikit hiburan di luar rumah, aku bisa maklum dengan kondisinya itu, tapi tidaklah demikian dengan istriku. Semuanya bermula dari sebuah kecurigaan, istriku merasa bahwa Andy tak mungkin lembur setiap hari. Suatu kali iseng-iseng istriku bertanya padanya pada waktu kami sama-sama sedang sarapan pagi, “Semalam lembur lagi ya Dik Andy?” tanya istriku tiba-tiba.
Rupanya Andy kaget sekali dengan pertanyaan yang mendadak itu dan membuatnya tersipu kemalu-maluan, “Hmmm nggak kok Mbak cuma jalan saja sama teman,” jawabnya kagok.
“Oooo…” untunglah istriku cukup tanggap dan tak berniat memperpanjang pertanyaannya sekalipun aku tahu bahwa rasa ingin tahunya begitu kentara lewat ekspresi wajahnya.
Dan rupanya betul saja malamnya sepulang kerja istriku kembali mengungkit masalah itu, ”Mas kau tidak boleh diam saja!“ ucapnya tiba-tiba.
“Apa maksudmu?” tanyaku bingung diterpa pertanyaan yang tak aku ketahui ujung pangkalnya itu.
“Nggak usah pura-puralah…ya soal adikmu itu!” katanya kesal.
“Memang kenapa si Andy?” meskipun aku mulai memahami arah pernyataanya tapi aku tetap saja berpura-pura bego.
“Ah kau ini masih saja mengelak…” katanya lagi dengan nada bertambah kesal, ”Kan kau tahu ia tiap hari pulang larut nggak ketahuan ke mana, alasannya saja pergi sama teman, kalau temannya itu cewek bagaimana?” katanya lagi dengan nada sewot.
“Lha mau gimana? kan dia itu sudah dewasa sudah tahu mana yang baik mana yang jelek!” jawabku sekenanya.
“Dasar kau juga sama saja, kalian itu lelaki nggak berperasaaan sudah punya anak istri masih saja melakukan hal yang nggak bertanggungjawab” istriku jadi marah.
“Terus maumu bagaimana?” jawabku tak kalah keras, “Aku memang males ngurus urusan pribadi orang lain sekalipun itu urusan adikku sendiri!”
“Ya kasih tahu kek bagaimana begitu, kamu kan kakaknya, apa nggak kasihan sama Dik Ratri?” muka istriku mulai merah padam rupanya ia mulai marah betul. Aku jadi blingsatan sendirian, hanya gara-gara masalah begini semuanya jadi runyam.
“Ya kalau maumu begitu nanti aku sampaikan, nggak usah pakai marah-marah,” jawabku kesal untuk memutuskan pertengkaran itu, tapi istriku rupanya belum puas.
“Jangan cuma ngomong tapi kasih tahu juga kalau dia itu sudah punya anak istri, mestinya dia itu punya tanggung jawab.”
“Lho kau koq marah segitunya kan belum terbukti kalau dia main cewek di luaran,” balasku dengan sewot pula.
“Ya jelas tho mau bukti apalagi? laki-laki kan dimana-mana kucing kalau tidak ya buaya!” jawabnya sambil melengos.
“Kamu jangan sembarangan ngomong, berarti kamu nuduh aku juga?” kataku masih berusaha menahan emosi, tapi ucapan istriku itu sudah keterlaluan dan aku tak bisa menerimanya begitu saja.
“Ya terserah kau, kalau kamu mau ikut main-main hari ini juga aku akan pulang ke rumah Bapak!” jawab istriku hampir mau menangis rupanya emosinya sudah mencapai titik kulminasi.
“Wah sudah toh Jeng, ngak perlu seperti itu, kita kan bisa ngomong baik-baik tidak asal tuduh tidak asal marah…” kataku coba meredakan suasana.
“Ya terserah kamu aku cuma mewakili perasaan Dik Ratri, aku juga wanita Mas aku tahu sekali bagaimana rasanya ditinggal suami!” dan Ajeng istriku tak sanggup lagi membendung perasaannya kulihat air mata sudah mengalir di pipinya.
“Sudahlah kau tak perlu sampai menagis seperti itu besok aku ngomong sama Andy sekarang kita tidur ya?” kataku lembut merayu hatinya, dengan segera kutarik istriku ke dalam pelukanku dan membimbingnya ke dalam kamar.
***
Tapi rupanya keadaan sudah berkembang sedemikian rupa lebih sulit dari yang aku duga semula. Andy memang sedang dekat dengan seorang gadis teman kerjanya, dan ini benar-benar hal yang mengagetkan diriku, setelah aku desak terus menerus akhirnya ia pun mengaku, “Yah apa boleh buat Mas, aku kan juga butuh perhatian, kesibukan pekerjaan yang itu-itu saja telah membuatku suntuk, bagaimana aku bisa tahan didera kesepian terus menerus? dan bukan salahku kalau ada seseorang yang mau peduli pada diriku apakah harus aku sia-siakan begitu saja ?” kata Andy dengan mimik memelas.
“Ya…tapi kau harus ingat kalau kau sudah punya anak dan istri di Semarang,” kataku mencoba searif mungkin.
“Ya Mas aku paham, tapi aku harus bagaimana? aku nggak tahan harus begini terus menerus, sementara Ratri belum bisa pindah ke Jakarta,” jawabnya lemah, ”Dan kebutuhan ini betul-betul sudah tak bisa lagi aku tahan Mas, aku nggak sanggup… aku bisa mati kering kehausan Mas!”
“Apa tak bisa kau salurkan dengan cara lain?” kataku menyelidik.
“Wah Mas sih bisa ngomong begitu, tapi coba saja Mas Baskoro jalani sendiri sanggup apa tidak?” tanyanya membalikkan pertanyaanku, dan itu membuatku berpikir lama sekali.
“Seharusnya ada cara yang lebih baik Dik, jangan sampai menyusahkan dirimu sendiri dan menyeret anak istrimu,” kataku lagi ,”Kalau perlu sering-seringlah pulang ke Semarang.”
“Wah itu jelas tidak mungkin Mas, pekerjaanku jelas tidak memungkinkan.”
“Ya satu-satunya jalan kau harus keluar dan balik ke Semarang, toh tabunganmu cukuplah untuk memulai buka toko kecil-kecilan,” kataku mencoba mencari solusi.
“Tidak segampang itu Mas, karirku sudah mulai bagus, aku justru berharap suatu waktu nanti aku bisa memboyong Ratri dan Kevin ke Jakarta,” katanya optimis.
“Ya, tapi sampai kapan kamu begini? Sampai Ratri dengar penyelewenganmu dan perkawinanmu hancur berantakan?” tanyaku kesal.
“Ya itulah Mas, aku akan mulai mengerem mulai sekarang, tapi kuharap dukungan dari Mas juga,” jawabnya sambil memandangku meminta persetujuan.
“Dukungan bagaimana maksumu?” tanyaku heran.
“Ya jangan sampai masalah ini bocor hingga ketahuan Ratri,” katanya polos.
“Wah aku nggak bisa janji, soalnya Mbakyumu sudah curiga,” kataku berhati-hati.
“Wah jangan sampai Mbakyu tahu Mas bisa berabe…” jawabnya kuatir.
“Ini konspirasi namanya…” kataku tertawa.
“”Bukan begitu Mas ini demi kebaikan Ratri juga, kalau ia tak tahu ia tak perlu kuatir,” kata Andy enteng.
Aku sebal sekali dengan sikapnya itu tapi aku tak bisa apa-apa,“Ya terserah kaulah, kau yang menjalani, jadi semua tergantung dirimu sendiri.”
***
Sepertinya usahaku untuk memberi sedikit nasehat kepada adikku telah menemui kegagalan aku tak tahu lagi apa yang harus kulakukan yang jelas aku sudah menyampaikan keberatan istriku dan mulai hari itu aku akan berlagak sebagai orang bego, tapi rupanya istriku mengendus taktik yang aku jalankan diam-diam.
“Mas ..” katanya suatu kali, “Bagaimana kau sudah ngomong sama si Andy?”
”Sudah,” jawabku pendek.
“Terus?” tanyanya penasaran
“Ya sudah begitu saja.”
“Koq begitu?” ia makin penasaran.
“Ya mau apa lagi?”
“Cerita kek bagaimana cara kamu ngomongnya, terus bagaimana tanggapannya?”
“Ya begitu pokoknya aku sudah sampaikan!” jawabku ketus.
“Wah ini akal-akalanmu lagi, pasti tak kau sampaikan seperti yang aku minta!”
“Sudah…sudah aku sampaikan, tanya saja sendiri sama Andy kalau kau tak percaya,” jawabku sekenanya.
Istriku tampak mangkel tapi jawaban itu ternyata cukup efektif membuatnya mati kutu. Selama beberapa hari ia tak menyinggung-nyinggung soal si Andy, tapi begitu memasuki hari kelima rupanya ia tak mampu menahan diri lagi.
“Mas..” katanya lebih keras dari nada bicaranya yang biasa, aku mulai merasa ia pasti akan mengungkit masalah itu lagi.
“Ya kenapa?” tanyaku enteng.
“Tak kau perhatikan si Andy mulai pulang larut malam lagi,” tanyanya dengan nada kurang senang.
“Ya memang kenapa?”
“Kan aku sudah bilang kau harus kasih tahu adikmu!”
“Kan aku juga sudah bilang kalau aku sudah kasih tahu dia!”
“Iya tapi koq dia masih begitu juga?”
“Ya itukan terserah dia, orang dia itu manusia merdeka.”
“Tapi aku tak suka dengan cara dia bermain di belakang istrinya.”
“Ya kalau begitu kau saja yang kasih tahu dia!”
“Lho kau kan kakaknya sudah kewajibanmu kasih tahu si Andy kalau ia salah.”
“Lha kau kan iparnya, kau juga berhak, jadi kau saja yang ngomong!”
“Dasar kalian sama saja!”
Istriku masuk ke kamar dengan muka masam, tapi setidaknya aku tak perlu lagi beradu mulut dengannya dan diganggu dengan segala tetek bengek yang memusingkan kepala itu, tapi rupanya perkiraanku meleset istriku menjalankan taktik yang lain lagi, sesuatu hal yang sama sekali tak aku duga sebelumnya. Aku tak menyadari bahwa ia sesungguhnya segan menegur Andy secara langsung atau menyampaikan kecurigaannya itu kepada Ratri tanpa menimbulkan perang besar jadi terpaksa ia melakukan perang gerilya dan akulah yang jadi sasarannya. Semenjak percakapan kami malam itu ia tak mau lagi aku sentuh, setiap kali aku mengajaknya bercumbu ia selalu menolak dengan berbagai alasan, sekali dikatakannya sakit kepala, lain kali dikatakannya masuk angin, lain kali lagi ia bilang mengantuk, begitu terus berulang kali. Selama seminggu aku masih bisa bertahan begitu pula waktu memasuki minggu ke dua, tapi begitu melewati minggu ketiga harga diriku pun serasa dicabik-cabik.
“Jeng, kita nggak bisa begini terus,” kataku suatu malam.
“Maksudmu?”
“Ya itu, kau tak bisa menolakku terus-terusan!” kataku tak sabar.
“Siapa bilang?” katanya dingin.
“Wah ini sudah keterlalauan!” kataku sewot.
“Ya terserah kau.”
“Apa maksudmu terserah aku?”
“Kalau kau mau mengikuti jejak adikmu terserah saja bukankah kalian sama saja?” katanya enteng.
Aku betul-betul tersinggung tapi aku tak bisa apa-apa selain menelan harga diriku, sementara si Andy sungguh tak tahu diri masih saja meneruskan aksinya pulang larut malam. Malam itu juga aku memutuskan untuk berbicara dengannya dan aku terpaksa menungguinya di depan televisi. Pukul 1 dini hari lewat ia baru pulang.
“Tumben Mas jam segini belum tidur?” tanyanya dengan ekspresi cengar-cengir.
Aku sudah marah sekali dan segera saja kusemprot dirinya, ”Ini semua gara-gara kau!” kataku masam lalu kuceritakan semua aksi mogok yang dijalankan istriku dan reaksi Andy sungguh di luar dugaan.
“Ha…ha..ha Mas rasakan sendiri sekarang baru tiga minggu saja sudah blingsatan, saya sudah satu setengah tahun Mas, satu setengah tahun saya menahan diri! Jadi benar kan kata-kata saya, ini bukan soal moral, ini soal kebutuhan!” katanya dengan nada penuh kemenangan.
Aku terhenyak dengan omongan Andy, “Tapi itu tidak berarti jadi pembenaran bagi kita untuk berbuat yang tidak-tidak Dik”
“Ya itu kembali pada masing-masing orang Mas, terserah Mas saja, sekarang Mas mau mengikuti permainan Mbakyu atau mau mengikuti kata hati Mas?”
“Sontoloyo kau, bukan begitu caranya Dik itu namanya gila-gilaan, kalau menggampangkan masalah macam begitu. Sinting! kamu benar-benar sudah sinting!”
“Ya kita lihat saja kalau Mbakyu bersikukuh nggak mau juga, apa Mas bisa? Coba Mas jalani saja sampai kapan Mas bisa bertahan?” kata si Andy sambil ngeloyor pergi dan aku cuma bisa garuk-garuk kepala, “Barangkali kalian tahu apa yang harus saya lakukan?”

Kuningan, akhir Mei 2004


Tamu

Wulan menengok ke luar ke arah jendela, ada perasaan teramat kuat yang mendorong dirinya untuk terus menerus mengawasi jendela itu di mana ia bisa memandang langsung ke arah pintu pagar besi depan rumahnya. Gerakan kepalanya tampak begitu anggun hampir seperti sebuah tarian. Sudah semenjak tadi ia merasakan seolah ada bayangan berkelebat dari sosok seseorang yang ia harapkan akan segera datang menghampiri pagar besi tempa bermotif bunga matahari warna merah bata di depan rumahnya. Berulang kali Wulan mencoba menangkap isyarat yang mengepung dirinya sejak beberapa hari lalu, isyarat yang hadir terus menerus di dalam mimpi dan menguntitnya seperti Bolen kucing belang telon kesayangannya. Sebuah perasaan yang aneh namun lama kelamaan rasa itu jadi begitu akrab dan tak sanggup ditepiskannya lagi.
Hingga hari beranjak siang namun pemandangan di luar jendela masih juga tak bergeming seperti sebuah lukisan beku, angin mati dalam nuansa warna kuning kecoklatan yang begitu kering, bayangan pohon mangga dan daunnya yang rimbun tak membuat teduh hati Wulan. Ia sebenarnya mengharapkan gerimis, namun itu mungkin akan memperlambat penantiannya, dan langit tak juga mendung. Matahari tengah hari begitu terik membakar batu-batu sepanjang tanggul di depan rumah, mengeluarkan asap mengepul seperti tarian bayang-bayang. Tak ada seorang pun melintas, juga kendaraan yang biasanya selalu berlalu-lalang sepanjang jam-jam sibuk siang itu telah hilang juga derunya entah kemana, bahkan ayam-ayam tetangga yang biasanya berkeliaran mencari cacing di halaman depan rumahnya tak seekor pun terdengar suaranya.
Udara gerah begitu menyengat tapi tatapan mata Wulan seolah terpaku tak juga bergeming menembusi bingkai kaca jendela kayu kamper yang di cat duco warna putih. Dalam ruang matanya seolah terbayang air terjun yang menerobos batu-batu gunung, mengalir jatuh dan pecah di dasar lembah dalam bentuk titik-titik air yang mengguratkan warna pelangi, tapi bayangan itu tak mampu menjelaskan misteri yang menggerakkan sel-sel biru yang berkelebat dalam benaknya. Sel-sel biru itu bergerak berloncatan berkejaran menyusun rangkaian ingatan dalam kilasan waktu yang berjalan lambat seperti sebuah film bisu dari masa yang telah lampau, masa kecilnya. Dan terbayang kembali sekian banyak kenakalan-kenakalan yang telah ia lakukan. Kenakalan yang terus berbekas hingga Wulan menginjak dewasa ketika ia mulai mengenal arti pacaran, sex dan pergaulan bebas serta tentu saja narkoba. Semua hal yang selalu memancing segala rasa ingin tahu seorang gadis remaja dengan hasrat besar untuk menemukan eksistensi diri sendiri.
Kilasan waktu itu membuatnya gelisah tapi ia tak mampu menepisnya begitu saja, seolah semua itu dijejalkan ke dalam pikirannya dan memaksanya untuk kembali menyusuri kembali kepahitan-kepahitan yang selama ini telah ia jalani. Barangkali seperti keluarga-keluarga lain yang bapak ibunya bercerai dan Wulan harus menghadapi persoalannya sendiri, begitu pula adiknya yang sering terlibat tawuran adalah sedikit dari sekian banyak kekecewaan yang harus ia telan semenjak muda usia. Waktu yang begitu pahit untuk dikenang menyeruak begitu saja dan sejenak ia tersergap oleh melankoli. Ia ingin menangis tapi tidak sekarang tidak dalam saat seperti ini, saat di mana ia justru harus kelihatan tegar untuk dapat menemui seseorang, orang yang mungkin akan merubah waktunya yang tinggal sedikit saja tersisa.
Ada musik yang berdenting dalam telinganya menjelajah bilah-bilah nada merasuki kalbunya seperti dinginnya lantai marmer yang merembes ke telapak kakinya yang diam-diam menggigil, musik itu musik yang lembut seperti sebuah walsa dan bukannya musik hingar bingar yang selalu didengarnya bersama teman-teman dugem-nya selama ini. Aneh sekali ia tiba-tiba jadi menyukai musik lembut itu padahal dulu ia paling antipati dengan musik berselera tua macam demikian, entahlah mungkin waktu memang sudah berubah, mungkin saja ia telah beranjak dewasa dan mulai bisa memikirkan hal-hal yang lebih berguna. Ya bila saja masih ada waktu mungkin ia bisa memulai sesuatu yang baru, yang berbeda sama sekali dari hidupnya yang telah lewat, memilih kawan bergaul yang berbeda, memasuki lingkungan yang berbeda pula dan mungkin juga ia akan meneruskan kuliahnya yang terbengkalai selama ini dan tak perlu lagi menyandang gelar ayam abu-abu di kampus seperti ejekan orang-orang yang membenci dirinya selama ini.
Tidak, Wulan tidak sedang melamun atau mengkhayalkan sesuatu, pikirannya tidak kosong, ia memang tengah menunggu…dan ia sudah menunggu semenjak pagi bahkan semenjak subuh menjelang. Ia sudah mempersiapkan diri mandi pagi-pagi sekali kemudian ia pun berbenah membersihkan kamar dan seluruh isi rumah, hal yang baru pertama kali itu ia lakukan dalam hidupnya, karena selama ini ada bibik yang selalu membenahi kamarnya, ternyata mengasyikkan juga, dan tentu saja selalu ada arti kata pertama kali untuk segala sesuatu bukan?
Hingga akhirnya berhasil juga ia selesaikan pekerjaan itu, bahkan kamarnya yang selama ini selalu berantakan oleh sekian banyak kaset dan compact disc yang bertebaran, tumpukan koran dan majalah, pakaian kotor, juga abu rokok dan puntung yang bertebaran di mana-mana semuanya telah ia enyahkan ke dalam bak sampah. Bahkan pagi itu ia telah melakukan suatu hal yang sangat istimewa yaitu mempersiapkan sejumlah hidangan yang mengundang selera, aneka masakan dengan resep istimewa dari mendiang neneknya satu-satunya anggota keluarga yang selama ini ia rasakan pernah hadir dekat dalam kehidupannya yang menjemukan, sampai kemudian nenek yang ia cintai harus pergi meninggalkan kepedihan yang lebih sakit lagi di dalam dirinya.
Namun pagi itu Wulan ingin melakukan sebuah perubahan, perubahan paling besar dalam hidupnya mungkin saja. Setelah selesai berbenah ia kenakan pula bajunya yang paling bagus sebuah gaun sutra dengan potongan sederhana berwarna putih melati dengan sedikit hiasan renda di bagian lehernya. Ia sudah mengikat pula rambutnya yang hitam panjang dan memasang sebuah penjepit rambut dari kulit kerang yang cantik. Ia kelihatan segar dan menawan, bahkan bila kau melihatnya pasti kau tak akan tahan untuk sedikit mencium pipinya yang kemerahan atau mengelus anak-anak rambut yang halus di tengkuknya. Sungguh sesuatu hal yang aneh, berbalik seratus delapan puluh derajat dari kebiasaannya selama ini, Wulan yang dulu kita kenal sebagai seorang gadis tomboi….tapi tunggu dulu mungkinkah ia masih seorang gadis? Ya tentu saja kalau kita tidak menyangsikan keperawanannya bukan? Selama ini Wulan selalu berpenampilan urakan dengan jeans belel dan tubuh kerempengnya tak pernah lepas dari balutan kaos tanktop ketat dan rokok putih selalu menempel di bibirnya yang mulai kehitam-hitaman itu.
Pagi ini ternyata dapat juga ia merubah penampilannya menjadi seorang putri, hehehe…barangkali itu hal yang paling aneh dari tingkah Wulan akhir-akhir ini dan bakal membuat kita tertawa keheranan? Tapi nanti dulu jangan keburu tertawa, kita harus menghargai semua jerih payahnya bukankah ia telah berupaya keras membuat sebuah persiapan yang sempurna untuk menyambut kehadiran si tamu istimewa? namun mungkin saja, kau juga kepingin tahu siapakah tamu yang diharapkannya itu? hingga siang begini tak kunjung muncul juga batang hidungnya.
Wulan mungkin merasa sedikit gelisah, sekali pun ia masih berketetapan hati bahwa tamu itu pasti akan datang juga hari ini, ya hari ini! namun hari ini bisa berarti pagi, siang atau sore nanti, sebetulnya itu salah Wulan sendiri karena ia memang tak tahu pasti kapan tepatnya tamu itu akan datang, ia hanya mengandalkan pada firasat bahwa tamu itu pasti akan datang. Wulan mencoba menyabarkan dirinya karena toh baru tengah hari dan masih banyak waktu untuk menunggu, dan ia berniat untuk lebih menikmati musik yang semenjak tadi mengalun di telinganya, ya kenapa tidak? Ia tak perlu cemas, toh semuanya telah ia persiapkan dengan sempurna, tanaman di halaman telah ia siram sehingga udara sejuk terbawa juga masuk ke dalam rumah dan sebuah iringan musik yang syahdu akan membuat suasana rumah itu jadi semakin semarak. Meja-meja sudah tertata rapi tertutup taplak bersih yang baru habis di cuci, dan beberapa potong bunga segar telah pula ia letakkan di dalam vas bunga dari porselen yang cantik, lantai pun wangi tercium bau cemara dan korden-korden pun tampak bersih, semua tak ada kurangnya.
Wulan pun kembali mematut dirinya, sengaja ia sedikit berlama-lama di depan kaca di dalam kamarnya ada aroma bunga lavender meruap dari parfum yang baru disemprotkannya kembali ke tengkuk dan pergelangan tangannya, tentu saja ia harus beraroma wangi setiap kali. Ia ingin semua kelihatan sempurna begitu tamu itu datang ia tak ingin membuat tamu itu kecewa, oleh karena itu sekali lagi di semprotnya juga ruang tamu yang bersih itu dengan pengharum ruangan, kali ini aroma melati yang tercium. Dan ia pun kembali mengelilingi ruangan itu sekali lagi memeriksa barangkali ada sesuatu yang kurang, atau barangkali ada yang tidak pada tempatnya tapi semua terlihat sempurna dalam pandangan matanya. Diperiksanya kembali hidangan di atas meja makan, Wulan mendesah …”Ah hidangan itu pasti sudah dingin,” keluhnya, oleh karena itu buru-buru ia menuju ke gudang tempat menyimpan semua perkakas dan dikeluarkannya sebuah kompor listrik yang praktis tinggal colok, kemudian dihangatkannya kembali makanan yang terhidang di meja itu.
Kini semuanya sudah pas sudah sempurna, tinggal menunggu kehadiran sang tamu. Namun lama menunggu akhirnya membuat hati Wulan jadi makin gelisah, demi saat-saat yang paling berarti dalam hidupnya, saat yang paling ia tunggu mungkin sekali seumur hidupnya, dan ia tak ingin membuat sebuah kesalahan sekecil apa pun, “Tidak…tak boleh ada kesalahan kali ini, atau aku akan menyesal,” batin Wulan mendesah.
Kembali ditengoknya jendela lalu balik lagi ke dalam untuk melihat jam di dinding dapur, “Hemm…sudah jam 2 lewat sekarang, jam makan siang sudah terlewat juga…ahh!” Wulan merasakan perutnya jadi perih. Ia memang sengaja tak makan semenjak pagi, terlalu bersemangat menghadapi hari istimewa itu sampai lupa sarapan, mau tak mau dipungutnya juga sepotong tempe dan dikunyahnya pelan-pelan, tapi tempe itu jadi tak terasa nikmatnya padahal perutnya sudah lapar bukan main, buru-buru diambilnya segelas air putih dari dalam lemari pendingin dan diteguknya sampai habis.
Wulan mulai dihinggapi rasa kecewa, “Jangan-jangan ia tak datang hari ini, ah tak mungkin…” Wulan menepis kecemasan dalam dirinya, Kali ini di comotnya sebuah pisang dan dikupasnya dengan tergesa seperti hendak ditelannya pisang itu tanpa mengunyahnya lagi. Wulan benar-benar mulai merasa kesal, ia mulai merasa dipermainkan.
“Tak mungkin kalau ia sampai tak datang …aku harus lebih bersabar sedikit, aku masih punya cukup waktu,” katanya membatin, dan ia pun mondar-mandir saja dari dapur ke ruang makan, terus ke ruang tamu, menengok ke teras depan rumah lalu ke jalan di luar yang mulai teduh, matahari sudah tak segarang tadi, tapi hati Wulan kian rusuh, musik sudah lama tak berdenting lagi di telinganya, sudah berganti dengan dentuman-dentuman rasa kecewa dari dalam dadanya. Waktu merangkak seperti keong hingga pukul 5 lewat sedikit akhirnya ada seseorang yang tiba-tiba melintas dan berjalan terseok ke arah pagar rumahnya, seorang wanita tua dengan baju lusuh lebih menyerupai seorang gembel tukang minta-minta. Wulan buru-buru berdiri dan membuka pintu pagar.
“Permisi Neng…” tegur wanita tua itu memperdengarkan suaranya yang demikian kering sekering bibirnya yang pecah-pecah.
Wulan tak menjawab sapaan wanita tua itu, ia balik lagi ke dalam rumah untuk mengambil dompetnya, dikeluarkannya segera selembar ribuan dan diserahkannya kepada wanita tua itu. Namun diluar dugaan Wulan wanita tua itu tak segera menyambut uang yang disodorkan kepadanya.
“Lho kenapa nenek nggak mau terima?” tanya Wulan dengan herannya.
“Saya kemari tidak untuk minta-minta,” jawab wanita tua itu masih dengan suaranya yang kering.
“Lho…terus untuk apa?” rasa heran kian menyeruak dalam diri Wulan.
“Saya kemari karena sayalah tamu yang engkau tunggu!” jawab wanita tua itu dengan mimik serius.
Wulan terkesiap sejenak, sungguh tak diduganya bahwa tamu yang ditunggunya berwujud sedemikian rupa jauh dari bayangannya semula, hal itu menimbulkan keragu-raguan dalam dirinya.
“Benarkah nenek…yang harus datang menjemput saya?” tanyanya tak yakin.
“Ya akulah yang engkau tunggu!” jawab nenek itu tegas.
“Tak mungkin!” Wulan menunjukkan ekspresi tak percaya.
“Kenapa tidak? Apakah penampilanku tak seperti yang engkau bayangkan? Apakah kau kira aku akan datang sebagai seorang pria tampan dengan baju perlente?” nenek itu mulai marah.
Wulan terhenyak, untuk beberapa lamanya ia tak mampu berkata-kata, “Ti...tidak… saya hanya tak menyangka bahwa yang akan menjemput saya ternyata nenek,” jawab Wulan tergagap.
“Tak apa-apa anak muda aku sudah biasa mengalami hal semacam ini, semua orang selalu mengharapkan yang bagus-bagus tentang diriku, padahal mereka tak pernah mengerti,” nenek itu manggut-manggut.
“Lalu…?” Wulan kebingungan dan mulai kehilangan akal.
“Tak apa-apa, aku juga tak mau berbasa-basi!” jawah wanita tua itu pendek.
“Kita bisa pergi sekarang?” tanyanya cepat dengan nada sedikit memaksa.
“Tapi aku sudah mempersiapkan masakan istimewa untukmu,” balas Wulan masih dengan kebingungannya.
“Tak perlu anak muda aku sudah kenyang!” kata wanita tua itu sambil memamerkan giginya yang kehitam-hitaman.
“Tapi setidaknya kau beristirahat dululah,” kata Wulan lagi dengan sungguh-sungguh, “Kau pasti capai sekali setelah berjalan jauh.”
“Tidak anak muda aku sudah terbiasa dan kita sudah kehabisan waktu!” nenek itu bersikeras.
“Tapi aku belum mau pergi sekarang,” Wulan tiba-tiba ingin menangis, “Aku…aku belum siap…” dan tiba-tiba air mata pun mengalir dengan deras dari mata Wulan.
“Hi…hi…hi, kau sudah siap anak muda, coba kulihat, bukankah kau sudah mengenakan gaunmu yang paling bagus dan kau tak memerlukan apa-apa lagi? Ayolah aku sudah tak bisa menunggu lagi!” kata nenek itu tegas.
“Tapi….aku tak mau pergi denganmu…!” Wulan menjadi histeris.
“Ya…ya, selalu begitu tak ada yang mau pergi dengan wanita tua seburuk aku…tak apa-apa anak muda, tapi aku bisa meminta orang yang lebih buruk dariku untuk datang menjemputmu, bagaimana? wanita tua itu terkekeh, “Hi..hi..hi, ya aku bisa minta dikirim seorang gali tukang perkosa datang kemari…hi..hi..hi tentu kau akan suka sekali”
“Tidak…tidak! aku tak mau mati sekarang…tidak sekarang! demi Tuhan jangan bawa aku sekarang…aku mohon,” Wulan menangis menghiba-hiba.
“Maaf, waktumu sudah habis! dan kita harus pergi sekarang!” wajah nenek itu menjadi geram ada nada kemarahan dalam suaranya, dan serta merta dicengkeramnya tangan Wulan, tangan itu begitu kuat menjepit pergelangan tangannya menimbukkan rasa ngilu yang merasuk hingga ke dalam dadanya.
Wulan ingin menjerit tapi tak ada yang dapat keluar dari bibirnya, ia berusaha berontak, ditariknya tangannya sekuat tenaga, dan bahkan coba dipukulnya wanita tua itu dengan tangannya yang satunya lagi tapi wanita tua itu tak bergeming keras seperti batu. Wulan meronta-meronta sekuat tenaga ditendang dan dijambaknya rambut putih penuh uban milik wanita tua itu tapi nenek itu tak peduli seolah ia tak punya lagi rasa sakit, hingga akhirnya Wulan tak mampu lagi melawan seluruh tubuhnya lungkrah tanpa daya tak ada lagi kekuatan dalam dirinya untuk berontak ia hanya bisa pasrah dan wanita tua itu menyeretnya dengan gampang seperti menarik sebuah karung yang berisi kapas.
***
Napas Wulan tersengal-sengal beberapa kali, mama dan papanya dan juga adik-adiknya yang berjaga di luar kamar terlihat cemas. Mereka telah menungguinya sejak kemarin malam saat ia diketemukan di kamarnya dalam keadaan nyaris mati over dosis, mata mendelik, bibir berbusa dan tubuh kejang-kejang. Mereka buru-buru membawa Wulan ke rumah sakit dalam kondisi nyaris tanpa harapan selama beberapa jam ia mengalami koma, membuat keluarga itu diliputi perasaan cemas yang luar biasa. Mereka hanya bisa menangis, dan tak putusnya berdoa agar Wulan diberi kesempatan hidup lebih lama. Sementara beberapa orang dokter telah berusaha mati-matian memacu jantung Wulan agar tetap berdegup tapi rupanya tangan takdir telah menentukan lain dan alat penunjang kehidupan yang dihubungkan ke tubuh Wulan itu kian lama kian lemah menunjukkan tanda-tanda yang sama sekali tidak mereka harapkan hingga akhirnya jantung Wulan berhenti berdegup untuk selama-lamanya.

Kuningan, Mei 2004

0 Comments:

Post a Comment

<< Home